Cerpen Bakti Ananda

BAKTI ANANDA

Suatu kisah dalam sebuah desa didapati seorang anak yang begitu penurut pada kedua orang tuanya. Ia tak pernah membantah, apalagi membentak. Kebahagiaan senantiasa dirasakan keluarga tersebut. Syahdu mata memandang kehidupan mereka. Tiada hal yang paling membahagiakan orang tua selain putra yang menurut pada setiap nasihat yang diberikan.
Nayla, seorang gadis cantik yang dibesarkan dengan latar belakang agama yang baik meski bukan di bawah naungan pondok pesantren, hidup dalam kesederhanaan dan penerimaan diri sepenuh hati, mengabdikan diri sepenuhnya pada kedua orang tuanya demi mengharap ridho Ilahi dalam setiap langkah yang ditempuh. Kini putri semata wayang ini menjadi seorang wanita sholihah yang banyak diidamkan pria manapun yang mendambakan kesejukan rohani. Bagi Nayla, menjalin hubungan dengan lawan jenis di luar garis pernikahan tidaklah patutu dilakukan karena banyaknya kemudharatan yang diakibatkan. Karenanya, Nayla menghendaki adanya keseriusan dari lelaki yang menyukainya.
Begitu juga jalan pikiran kedua orang tuanya. Setelah menginjak usia dewasa, beliau berdua sedikit meributkan dengan siapa kelak Nayla akan berkeluarga, patutkan laki – laki tersebut menjadi panutan Nayla, dan pertanyaan lain yang masih dimungkinkan muncul dalam benak keduanya. Dengan segala kebingungan yang menyergap, akhiirnya Nayla didudukkan oleh kedua orang tuanya tepat setelah shalat Isya’. Suasana tampak hening, sepi, nan sunyi. Nayla pun mencoba mengawali pembicaraan.
“Emm, Abi, Umi, tadi katanya mau membicarakan sesuatu yang amat penting. Jika diperkenankan, bolehkah kiranya ananda mengetahui hal tersebut?”, Tanya Nayla mengawali percakapan.
“Begini nduk. Saat ini kamu kan sudah berumur, jadi umi kira sudah saatnya …” (tiba – tiba umi terdiam)
“Sudah berumur dan sudah saatnya? Maaf umi, Nay tidak mengerti dengan maksud Umi.”, ucap Nayla.
“Emmm……”
“Abi akan jelaskan nduk. Gini lho, sebenarnya ada anak dari teman abi yang ingin mengkhitbah kamu.”
“Mengkhitbah Nayla, Abi? Tapi Nayla masih kuliah abi. Nayla pun masih semester 2. Mohon maaf, abi, umi. Bukankah ini masih terlalu dini untuk Nay?”
Tangan abi menggapai secawan kopi yang tersaji di meja kemudian meminumnya. Abi melanutkan, “Abi tau nduk, tapi dia adalah sahabat abi sejak kecil. Saat masing – masing dari kami akan menikah, kami membuat perjanjian bahwa jika nantinya anak kami berlawanan jenis maka kami berniat untuk menjodohkan satu sama lain. laki – laki yang ingin mengkhitba mu ini bernama Lukman.”
“Bagaimana nduk? Saat ini merupakan saat yang tepat bagi nak Lukman untuk mengkhitbahmu. Saat ini, abahnya, teman abi mu sedang sakit keras. Beliau begitu menginginkan kalian untuk segera melangsungkan pernikahan.”
Nayla terdiam membisu. Lidah terasa kelu nan kaku. Suasana membeku.
“Emm,, abi, umi. Nayla tidak bisa menjawabnya sekarang. Nayla ingin memikirkannya terlebih dahulu. Sudikah kiranya abi dan umi menunggu keputusan ananda?”
“Tak apa nduk. Keputusan sepenuhnya ada di tanganmu. Abi dan Umi berharap keputusan yang kau ambil adalah yang terbaik untukmu nduk. Kami slalu mendoakan mu.”, kata Abi dengan bijaksana.
“Iya nduk, kalau kamu sudah mengambil keputusan segera sampaikan pada kami.”
“Inggih, Abi, Umi. Terima kasih atas pengertiannya. Kalu begitu, Nay pamit istirahat dulu. Assalamualaikum.”
Setelah mengucap salam pada kedua orang tuanya, Nayla beranjak dari tempat duduknya untuk mencium kedua tangan orang tuanya. Nayla segera meninggalkan ruang tamu, ia pun masuk ke kamar. Di sudut kamar, suasana malam makin kelam. Tangannya menggapai sebuah buku catatan jingga, buku catatan yang selama ini menjadi curahan hatinya. Ia membuka lembaran demi lembaran yang berisikan tentang satu orang, hanyalah sebuah nama, yaitu Hakim. Ia menorehkan perasaannya pada catatan jingga selama bertahun – tahun. Tiap lembaran selalu terdapat tulisan “I will wait for you”. Sudah sepuluh tahun diam – diam ia mengagumi bahkan mencintai Hakim.
Meski demikian, Nayla tak pernah sekalipun ingin mengungkapkan rasa itu karena ia merasa tak pantas untuk Hakim. Wanita mana yang tidak mengidamkan sosok Hakim sebagai imam dalam melayarkan bahterah rumah tangga di tengah samudera kehidupan?! Hakim, seorang lelaki sholeh, idaman setiap wanita di kampus.
Kembali, Nayla menorehkan perasaannya di catatan jingga.
Kang Hakim, telah lama rasa ini mengendap di pori – pori relungku. Betapa bahagianya aku tiap berjumpa denganmu, walau itu dari balik jendela kamarku. Tidakkah kau merasakannya? Mungkin kau juga tak peduli jikalau saat ini aku telah dijodohkan. Sesungguhnya hatiku hanya ingin memilihmu sebagai imamku.
Namun apalah daya, karena orang tuaku menginginkan yang terbaik untukku. Mereka telah banyak berkorban dan berjasa dalam hidupku dan salah satu cita – citaku adalah membahagiakan mereka, sebab tentu aku takkan mampu membalasnya, meski dengan segunung emas permata.
Rinai hujan menyemai tanah bumi, sedang rinai air mata Nayla tengah menghujani catatan jingga. Nayla, gadis sholichah berhijab ungu, merebahkan badan di pembaringan putih berbantal biru muda. Mata sayunya pun menutup perlahan.

Keesokan harinya……
Saat Nyala hendak berangkat ke kampus…
 “Abi, Umi, Nay sudah membuat keputusan”, ucap Nayla sembari duduk di ruang tamu, hendak sarapan bersama.
“Lalu bagaimana keputusanmu, Nduk?”, tanya Abi.
“Begini Abi, Umi. Emm… Nayla akan menerima khitbah kang Lukman. Nayla sudah memikirkannya matang - matang”
“Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu Nduk?”, tanya Umi dengan senyum mengembang.
“Jangan paksakan hatimu untuk menerimanya Nduk.”, saran Abi.
“Tidak, Abi, Umi. Dengan sepenuh hati Nay menerima khitbah kang Lukman karena Nay tahu, pilihan Abi dan Umi adalah yang terbaik untuk Nay.”, tegas Nayla.
“Syukurlah kalau begitu. Nanti abi akan memberi kabar pada keluarga Lukman”
Mereka pun sarapan bersama. Nayla berpamitan pada kedua orang tauny hendak berangkat kuliah, memohon kelancaran dalam mencari ilmu. Nayla pun berangkat kuliah sementara Abi segera bangkit untuk mengabarkan berita bahagia ini pada keluarga Lukman bahwa putri semata wayangnya telah menerima khitbah putra sulung Kyai Rahman, ayah Lukman.
Malam pun tiba,
Keluarga Lukman berkunjung ke rumah Nayla untuk membicarakan pernikahan antara anak mereka. Namun kali ini Lukman tidak ikut hadir dalam pertemuan tersebut.
“Assalamu’alaikum, ya akhi. Kaifa chaluk?”, sapa Pak Kyai sembari memeluk Abi.
“Bikhoir Alhamdulillah, ya akhi.”
Keduanya melepas rindu setelah lima tahun tidak bersua.
“Mari, silakan duduk pak kyai, bu nyai”, Umi mempersilakan tamunya masuk.
“Iya bu. Oh iya, mana nak Nayla? Saya belum melihatnya.”
“Oh, sebentar lagi dia akan keluar Neng.”, sahut Abi.
“Silakan dicicpi kuenya. Saya akan menyusul Nayla dulu.”
“Iya Bu, terima kasih.”
Tidak lama kemudian Nayla keluar dari sebuah ruangan dengan membawa jamua the hangat sedang umi membawakan sepiring singkong rebus. Setelah meletakkan teh hangat dan singkong rebus, Nayla bersalaman dengan pak Kyai serta bu Nyai.
“Kau tumbuh begitu cantik nak!”, puji Bu Nyai.
Nayla tersenyum malu, kemudian duduk bersama mereka. Akhirnya, mereka mulai membicarakan topik utama.
“Nak Nayla, abimu telah memberitahuku bahwa kau menerima khitbah anakku. Apa kau benar – benar siap menerimanya sedang kalian belum pernah bertemu satu sama lain?”, tanya pak Kyai.
“Iya pak Kyai, saya benar – benar menerima khitbah putera pak Kyai.”
“Tapi Nduk, ada beberapa hal yang harus kuceritakan padamu, dan aku yakin ini belum pernah diceritakan oleh kedua orang tuamu. Kalau kau membatalkan khitbah ini setelah aku bercerita, tidak apa – apa Nduk karena itu hal yang wajar menurutku.”
Nayla, Abi, dan Umi saling menatap sebab penasaran dengan hal yang akan diceritakan oleh pak Kyai. Pak kyai pun mulai bercerita.
 “Kesholichahanmu membuatku bangga Nak, tapi apa kamu mau menikah dan hidup berdampingan dengan orang cacat seperti anakku? Sesungguhnya dia adalah pria yang tuli, buta, dan bisu.”, pak Kyai menjelaskan.
Seketika wajah bu Nyai tertunduk sementara Nayla menatap kedua orang tuanya. Suasana hening seketika.
“Bagaimana Nak Nayla? Apa kau tetap akan menerima khitbah putera kami?”, tanya bu Nyai memastikan.
“Keputusan ada di tanganmu Nduk. Silakan menjawab sesuai kata hatimu”, umi mendukung.
“Abi, Umi, pak Kyai dan Bu Nyai… Apapun yang terjadi pada kang Lukman, saya akan tetap menerimanya. Baik ia cacat atapun terlahir sempurna.”, jawab Nayla dengan senyum penuh ketenangan hati.
 “Sungguh beruntung Lukman mendapatkan calon istri bidadari sepertimu, nak Nayla.”
Bu Nyai menitikkan air mata bahagia. Suasana haru biru tersentak oleh pertanyaan Abi.
“Lalu kapan acara pernikahan akan dilaksanakan kang?”, tanya Abi
“Setelah semalam bertahajjud, dengan hitungan yang saya lakukan kemarin insyaallah waktu yang tepat jatuh pada jumat minggu depan tanggal 8 Maret. Acaranya sederhana, hanya mengundang kerabat, santri, dan tetangga sekitar rumah saja. Akad akan dilaksanakan di masjid pesantren ba’da shalat Dhuhur. Untuk masalah resepsi, kami serahkan pada keluarga akang. Bagaimana kang?”, pak Kyai menjelaskan.
“Kulo sekeluarga pasrah mawon kang”
Rembugan antara kedua keluarga tersebut berakdir pukul 22.00 WIB. Setelah dirasa cukup, pak Kyai dan Bu Nyai undur diri dari kediaman keluarga Nayla.

Tiga hari kemudian,
Mentari keluar dari persembunyian sunyi. Kabut menyibak pandangan sayu. Hembusan bayu menghempas hijab jingga gadis ayu, merintih lisan bershalawat lirih, yaitu Nayla. Ia hendak pergi kuliah sedang kedua orang tuanya bersiap – siap hendak mengantarkan undangan ke rumah sanak saudara. Biasanya, Nayla yang mengantarkan undangan tersebut. Namun kali ini ia ada ujian tengah semester yang tidak bisa ditinggalkan. Selain itu karena saat ini akan mengantarkan undangan pada kerabat dekat, jadi menurut abi dan umi  beliau berdualah yang lebih pantas pergi.
Setelah Nayla berpamitan pada keduanya, tiba – tiba saja Abi memanggil putri tunggalnya itu. Nayla pun menoleh, berjalan menghampiri Abi.
“Nduk, Abi sangat senang karena kamu sebentar lagi akan mempunyai pendamping hidup. Abi akan menyerahkan seluruh tanggung jawab pada nak Lukman.”, ujar Abi.
“Iya Abi. Nay juga bahagia. Umi juga kan?!”
“Pasti itu Nduk. Sudah, sebaiknya kamu berangkat dulu, nanti terlambat lho”
“Iya, Umi. Abi, Nayla berangkat dulu. Assalamualaikum.”,
Nayla kembali mencium tangan kedua orang tuanya. Nayla pun berangkat kuliah. Tak lama kemudia abi dan umi juga berangkat bersama mercy merah yang menemani. Abi siap mengemudikan mercy merah merona, melaju dengan kecepatan 40km/jam. Sepanjang perjalanan, Umi melihat Abi tersenyum – senyum sendiri lewat kaca spion yang terpasang di bagian tengah kaca depan.
“Abi seperrtinya bahagia sekali.”, Umi bertanya heran pada Abi.
“Siapa yang tidak bahagia, Umi?! Anak kita akan menikah.”
“Tapi kasihan Nayla, Bi”
“Sudahlah Umi. Di dunia ini memang tidak ada manusia yang sempurna.”
Terlihat lelehan air mata di pipi umi mengingat calon suami Nayla yang memiliki kekurangan fisik.
“Sungguh besar hatimu, Nduk”, ucap Umi dalam hati
BRAAAAAKKK
Sebuah truk pengangkut motor menyikut mobil keduanya. Mercy terguling ke jurang. Kaca pecah, menghantam pohon cemara. Mesin meraung, keempat roda berputar. Tercucur darah di setir mobil sebab terbenturnya kepala abi. Kaki abi terpanggang mesin. Umi terguling keluar dari pintu mobil yang terbuka, terjatuh tak sadarkan diri. Kini mercy makin memerah berlumuran darah.
Lengkungan sirine menghampiri mobil tersebut. Polisi pun tak mau kalah, mereka menyelidiki sebab dan mencari tahu identitas korban kecelakaan. Umi tak sadarkan diri sedang abi sudah tak bisa dikenali wajahnya sementara kartu identitas keduanya telah hilang berikut dompet dan isinya yang telah diselamatkan terlebih dahulu. Dengan keterpaksaan, kedua korban kecelakaan tersebut dilarikan ke rumah sakit sembari mencari informasi mengenai kejadian tersebut.
Dua jam setelah kejadian, umi pun sadar. Perlahan, beliau membuka mata dan mengamati ruang sekitar. Suster yang mengetahui keadaan umi tersebut segera menghampiri. Secara sabar perawat tersebut menanyakan keadaan umi, menjawab semua pertanyaan umi dengan baik hingga kemudian menanyakan keluarga umi sampai pada akhirnya yang didapat oleh suster tersebut hanyalah tempat Nayla, putri umi kuliah. Informasi tersebut disampaikan pada petugas kepolisian yang menangani masalah kecelakaan yang menimpa umi dan abi.

Di universitas tempat Nayla kuliah..
 “Nayla, ada telephone untukmu.”, ucap salah seorang petugas kampus
“Iya Pak, terima kasih.”, kata Nayla.
“Hallo, assalamu’alaikum. Di sini Nayla. Ada yang bisa saya bantu?”, sahut Nayla pada seseorang di seberang sana.
“Wa’alaikumsalam. Begini Nayla, kami mengabarkan bahwasanya kedua orang tua anda saat ini tengah menjalani perawatan medis di RS Soeharto. Karenanya, tolong dik Nayla segera dating ke rumah sakit.”
Dengan mata berkaca-kaca, hati remuk menerima berita tersebut, Nayla menyahut “Baik Pak. Terima kasih atas informasi yang diberikan. Assalamu’alaikum.”
Perbincangan singkat dengan pihak polisi lewat telepon tersebut membuat hati Nayla berdegup tak keruan. Pihak kampus yang menanyakan kejelasan mengenai perihal yang dimusyawarahkan lewat telpon kabel tersebut pun bertanya – tanya. Namun Nayla tidka emmiliki banyakk waktu untuk menjawab semua pertanyaan yang dilayangkan padanya. Seketika itu juga, dia berangkat ke rumah sakit yang ditunjukkan.
Beberapa saat kemudian, sampailah Nayla di lobby rumah sakit. Bertanya Nayla pada resepsionist mengenai kamar kedua orang tuanya dirawat. Dalam perjalanannya menemui umi yang belum diketahui kabarnya, Nayla berpapasan dengan perawat kamar umi. Mendengar penjelasan bahwa umi sedang beristirahat, Nayla pun diajak ke sebelah ruang umi. Di dalamnya, terbaring di atas peraduan berselimut suci, seseorang memegang tasbih yang dirasa kenal oleh Nayla. Ketika didekati, tangis tak kuasa dibendung gadis cantik tersebut, menyiratkan sebuah duka mendalam, mengabarkan perih yang akan dirasakan di setiap harinya.
Nayla menatap wajah damai abi. Kebingungan melanda kala teringat hal yang harus dijelaskannya pada umi. Tak urung, tiap pilihan kata yang diambil tetap mencerminkan satu keadaan, yakni perpisahan dengan raga abi untuk sementara waktu.

Tiga hari kemudian…
Hiruk pikuk mewarnai hunian Nayla. Bukan mengapa, tak lain dan tak bukan, saat ini merupakan hari bahagia Nayla dan keluarganya, saat dilangsungkannya acara pernikahan Nayla dengan Lukman. Bergegas mempelai putri dan umi berangkat ke PonPes An-Nur dimana akad nikah akan dilaksanakan.
Kidung shalawat diiringi rebana menyambut mempelai putri. Ratusan santri menanti kehadiran pengantin. Raut merona merah, senyum menyungging di bibir merah alami. Tanpa poles, wajah tampak berseri. Jubbah dan kerudung menutupi aurat, selendang biru menghias gadis lembut, Nayla.
Saat akad hendak dimulai, sosok semampai yang taka sing lagi bagi Nayla dating. Ia duduk di samping penghulu. Tercengang Nayla melihatnya, namun hal itu disimpannya dalam diam. Ketika tiba kala pertukaran cincin, barulah Nayla pertanyakan, mengapa gerangan.
“Sebelum cincin ini mengikat jari Nayla, bolehkah Nayla bertanya sesuatu?”
“Aku tahu apa yang akan kamu tanyakan, Nak. Dialah pendampingmu.”, sahut pak Kyai dari belakang.
“Afwan Pak Kyai, jika kang Hakim adalah putra pak Kyai, bagaimana dengan pria buta, tuli, dan bisu yang mengkhitbah saya?”
“Lukman Hakim adalah pria yang buta karena tak pernah melihat kemaksiatan, tuli dari ucapan – ucapan kotor masyarakat, bisu dari kata – kata yang tidak bermanfaat di jalan Allah. Jadi, ulurkanlah tanganmu Nak.”, pak Kyai menjelaskan.
“Subhanallah”, tasbih lirih Nayla.
Umi terharu bahagia melihat putri semata wayangnya semakin berseri mendengar penjelasan pak Kyai. Tanpa terduga, Nayla dipertemukan dengan dambaan hatinya dalam keadaan yang lebih indah dari angannya. Hati Nayla tersentak, terkejut. Ia tak menyangka akan mengarungi hidup bersama orang yang selama ini dicintainya bertahun – tahun. Ia pun mengulurkan jemarinya lantas kang Hakim memasangkan cincin di jemarinya nan lentik. Bercampur aduk perasaan Nayla, tangis haru bahagia menyemai pipi.
“Andai abi ada di sini”, batin Nayla.
Pun umi demikian, menitikkan air mata bahagia. Suasana haru biru menyelimuti ruang majelis.








BIODATA PENULIS
Nama Lengkap          :    Ika Ayu Rahmawati
Nama Panggilan         :    Icha
Tetala                        :    Sidoarjo, 09 Agustus 1990
Alamat                      :    Ds. Ponokawan 3/3 41, Krian-Sidoarjo
No. HP                     :    +628977478744
Previous
Next Post »

Tata Cara Berkomentar yang Baik dan Benar :

1. Gunakan Bahasa yang Sopan.
2. Biasakanlah berkomentar sebelum meninggalkan.
3. Usahakan jangan menggunakan anonymous
4. Saya sangat berterima kasih atas komentar yang kalian berikan
5. Admin selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk para pengunjung ConversionConversion EmoticonEmoticon

Thanks for your comment